(ilusitrasi)
Oleh : KH. Rahmat Abdullah (Alm), Januari,1, 2013
Jika kita merenungi peristiwa pergantian tahun dan perhitungan waktu,
terdapat perbedaan sangat mencolok antara manusia dan makhluk lainnya.
Dengan akal yang Allah berikan mereka menghitung pergerakan benda-benda
angkasa yang tertib dan pasti. Dengan naluri ingin tahu yang Allah
tanamkan, mereka menjelajah tanpa lelah. Kepastian gerak dan ketertiban
pola edar tata surya mengilhami mereka untuk dapat membuat catatan
waktu, sejarah, dan peristiwa. Muncullah kalender atau almanak (Arab:
almanakh, almunakh, artinya musim, iklim, cuaca). Ada kronometer, dari
jam pasir, jam bayang-bayang sampai jam quartz dan kinetik.
Kemudian sesuatu berubah. Mereka membanggakan catatan prasejarah yang
mereka bikin-bikin sampai zaman kini. Orang berbangga dengan apa yang
mereka sebut pertambahan umur dalam ulang tahun, walaupun sebenarnya
yang terjadi adalah perkurangan umur. Secara umum orang merayakan tahun
baru Masehi, 1 Januari-sebuah kebiasaan kaum Nasrani yang di abad-abad
lalu menjajah negeri-negeri Muslim. Bahkan secara resmi juga presiden
mengumumkan pergantian tahun (orang Jayakarta (Jakarta) menyebutnya
Tahun Baru Blande).
Bagi seorang Muslim yang baik, bukan
pergantian tahun itu yang penting, tetapi per-gantian malam dan siang.
Allah menjadikannya sebagai tanda kekuasaannya. Me-renunginya berarti
memenuhi sebagian sifat ulil albab dan hamba yang bersyukur (QS.
3;190-191/25;62). "Ia yang menjadikan malam dan siang silih berganti,
bagi orang-orang yang ingin mengambil pelajaran atau ingin bersyukur".
Dulu orang membanggakan kaum sufi sebagai 'putra harinya'. Sudah
seharusnya tiap orang menjadi putra harinya, bahkan putra jamnya, menit,
dan detiknya. Artinya ia selalu mengaktualisasi dirinya bukan pada
musim-musim tahunan atau momentum-momentum, tetapi pada setiap saat
dalam kehidupannya serta menjalaninya dengan penuh kesadaran dan
tanggungjawab.
Terkadang kita sukar memahami gaya hidup orang
lain, sebagaimana mereka pun susah memahami gaya hidup kita. Kita tidak
mengerti mengapa mereka memakai busana minim, yang dalam sejarahnya
adalah busana perempuan nakal. Mereka pergi ke pesta-pesta pekanan atau
ulang tahun dengan wangian kelas mahal dan mobil mewah tanpa merasa
minder bahwa semua itu pinjaman dari ortu. Bagaimana kalau itu hasil
KKN? Siapa sih yang nyuruh tiup lilin? Kalau tidak, bagaimana akibatnya?
Mengapa harus pergi berpasang-pasangan? Mengapa itu disebut modern?
Apakah dengan pesta liar yang dianggap modern itu mereka langsung bisa
bikin satelit, komputer, robot, dan memecahkan masalah-masalah iptek?
Evaluasi diri tahun yang lalu
Konon, di antara bahan 'penyesalan' orang-orang saleh di hari kiamat
adalah adanya waktu kosong dalam kehidupan mereka. Tentu saja, mereka
tidak mengisinya dengan maksiat. Namun, melihat betapa keberuntungan
besar yang disediakan bagi mereka yang memanfaatkan seluruh hidup untuk
kepentingan ibadah, jelas 'penyesalan' itu menjadi wajar.
Bagaimana Rasulullah SAW. memanfaatkan waktunya secara efisien?
Bayangkan, sepanjang sembilan tahun di Madinah, kaum Quraisy melancarkan
tak kurang dari 62 kali gempuran besar dan kecil. 27 ghazwah,
pertempuran menghadapi mereka yang dipimpinnya langsung. 35 kali
sariyah, yang dipimpin para kader sahabat. Artinya, bila ada kata jeda
mungkin hanya satu sampai satu setengah bulan. Banyak hadis sahih
menginformasikan Rasulullah masih sempat berlomba jalan dengan istrinya.
Ada saatnya beliau merangkak dengan anak-anak bermain ceria
dipunggungnya. Ada saatnya beliau bercengkerama dengan rakyat jelata.
Ini di luar aktivitas memimpin persidangan politik, persidangan
kasus-kasus rumah tangga, kriminal, perdata, menyiapkan para calon
hakim, diplomat, guru, ulama, tentara, ahli syura, dll.
Banyak
orang hidup dengan usia panjang, kadang seratus tahun. Namun,
biografinya ditulis cukup dalam tiga baris: "Bapak Fulan, lahir tanggal
sekian, wafat tanggal se-kian". Terukir apik di batu nisan. Sebaliknya
Rasulullah SAW dengan usia 63 tahun qamariyah, sampai sekarang kajian
tentang beliau masih terus berlanjut, dari berbagai aspek kehidupan dan
kepemimpinannya.
Kenyataan ini menuntut kita untuk mengaudit diri
setiap hari: bagaimana caranya agar modal usia yang sudah dijatah tidak
terjadi defisit, bahkan sebaliknya, dan keuntungan besar yang selalu
diperoleh. Ini memang sulit, karena hal yang sering kali dihindari
adalah menghitung diri sendiri. Memang getir rasanya melihat
kesalahan-kesalahan diri, tetapi semua ini harus dilakukan. Dan
camkanlah dalam hati untuk satu hal ini: bahwa dalam pesta ulang tahun
atau dalam perhitungan usia, ada pengelabuan setan. Sesungguhnya bukan
umur yang bertambah, melainkan jumlah yang sudah dilewati. Jatah
sisa-nya semakin berkurang.
Menyikapi hedonisme remaja masa kini
Salah jika menganggap remaja saja yang doyan hura-hura. Semua dimulai
dari biangnya: bapak dan ibu. Kondisi semacam ini tampaknya sudah
terkonsep, dari sikap keseharian sampai cara penyambutan tahun baru,
semua mencerminkan dangkalnya nilai-nilai akidah sebagian besar umat.
Semua ini memang telah didesain dengan rapi. Dengarlah khotbah
sanjungan dan ucapan terima kasih atas nama gereja yang disampaikan oleh
pendeta Dr. Zwemmer di bukit Zaitun tahun 1935. Ia menekankan hal yang
lebih penting daripada menyebarkan Bibel, yaitu memunculkan generasi
umat Islam yang:
a. tak mengenal Islam
b. tidak bangga dengan Islam
c. terputus dengan sejarah dan keagungan masa lalu pendahulu mereka
d. hidup santai, hura-hura, serba boleh
e. kalau tidak pindah agama, juga tidak bermutu dalam Islam
f. lemah dan akhirnya mudah dikuasai dan didikte
b. tidak bangga dengan Islam
c. terputus dengan sejarah dan keagungan masa lalu pendahulu mereka
d. hidup santai, hura-hura, serba boleh
e. kalau tidak pindah agama, juga tidak bermutu dalam Islam
f. lemah dan akhirnya mudah dikuasai dan didikte
Hal yang sama bisa kita lihat dalam dokumen Protokolat Hukama' Yahudi
yang berisi sejumlah rencana busuk mereka terhadap umat Islam.
Menjadi remaja seutuhnya
Tidak adil menyalahkan remaja secara keseluruhan. Mereka hanyalah
produk yang lahir dan tumbuh dalam suatu iklim. Generasi yang lemah,
manja dan punya ketergan-tungan tinggi, lahir dan dibesarkan dalam
gelimang utang luar negeri yang mencekik leher, mengundang korupsi dan
menjerat umat pada jaring-jaring rentenir mancane-gara. Sejarah telah
membuktikan bahwa lingkungan dan keluarga adalah tempat terbaik
pulangnya remaja mengadukan keluh dan mencari jawaban bagi
persoalan-persoalannya.
Remaja yang bertanggung jawab akan sangat
prihatin melihat angka empat juta dalam kasus narkoba. Ia akan menjaga
dengan sungguh-sungguh dirinya dan rekan-rekannya untuk tidak menambah
jumlah itu. Ia tahu di bahunya dipercayakan nasib umat dan bangsa ini.
Ia sadar memegang amanah kepercayaan, harapan, biaya pendidikan dan
tunjangan orang tuanya. Ia memilih pahit daripada berkhianat kepada
akidahnya. Di era kebangkitan ia harus punya target mengenal Islam
secara benar, ikut dakwah secara proporsional, dan berprestasi
sebagaimana layaknya seorang remaja.
Target-target setahun ke depan
Mungkin sangat klise untuk mengatakan: tampil ke depan meraih sukses.
Coba duduklah dengan tenang, bayangkan ratusan ribu kader dari kelompok
pemikiran yang tidak punya komitmen dengan Islam dan dakwah Islam,
bahkan tidak dengan kepentingan bangsanya. Dengan terjun bebas atau
dengan beasiswa, mereka berhasil mereguk ilmu sepuas-puasnya dan
menduduki posisi-posisi kunci di negeri ini. Kepada siapa tanah air ini
akan diserahkan? Sukses tidak selalu ditandai dengan NEM tinggi, karena
remaja mungkin berprofesi sebagai pelajar atau putus sekolah karena
sebab-sebab tertentu. Intinya kemandirian dan kesiapan menghadapi hari
esok.
Bila duduk di kelas tertinggi, konsentrasinya pada sukses
belajar. Itu cukup sebagai bahasa fakta bagi dakwah yang cerdas dan
memberdayakan, agar tidak ada lagi orang berceloteh tentang aktivis yang
selalu gagal dalam studi. Bila berada di kelas pertama atau kedua,
harus dirancang agar menghasilkan kontribusi yang jelas, terencana, dan
terproyeksi.
*Sumber ; https://web.facebook.com/rahmat.abdullah/posts/10151134253757115?_rdr